Header Ads

Header ADS

Sikap Bijaksana

Suatu hari, salah seorang pemuka masyarakat Madinah tertimpa musibah. Seuntai kalung emas yang harganya cukup mahal, telah lenyap dari tempat penyimpanannya.

Para sahabat menjadi heran, bagaimana hal itu bisa terjadi? Madinah adalah kota yang makmur, tapi kenapa masih ada pencuri? Mungkin perbuatan ini dilakukan bukan karena kekurangan makan, apalagi kelaparan. Pasti bukan karena alasan itu.

Penyelidikan pun dilakukan, bukan terhadap orang yang kurang mampu ekonominya. Tetapi di lingkungan keluarga terhormat. Ternyata dugaan para sahabat tidak meleset. Pencurinya adalah orang dalam sendiri.

Namun ada suatu hal yang membuat mereka bingung dan merasa tidak enak untuk menjatuhkan putusan hukum. Pencurinya adalah seorang gadis yang sangat cantik.

Masalahnya bukan karena gadis atau pemuda, ternyata pencuri cantik itu bersalah dari marga Al Mahzumi, golongan ningrat yang tinggi martabatnya.

Dan yang paling membuat para sahabat itu bingung dan bimbang, karena gadis itu keponakan Khalid bin Walid, panglima andalan umat islam yang sangat dekat dengan Rasulullah.

Akhirnya para sahabat mengambil keputusan, dan bersepakat mendiamkan perkara itu, serta tak mengusiknya lagi, dengan harapan lama kelamaan masyarakat akan melupakan. Hal itu seperti lazimnya.

Namun lama-kelamaan berita itu terdengar oleh Rasulullah sendiri. Rasullullah menjadi marah, wajahnya merah padam, dan dengan suara keras beliau berkata:

“Sungguh Allah telah menghancurkan umat sebelum kamu. Sebab apabila diantara mereka ada orang yang  berkedudukan  terhormat mencuri, lalu kau diamkan saja. Tetapi jika rakyat kecil yang melakukan dijatuhi hukuman sebagaimana mestinya.”

Demikianlah sikap Rasulullah menghadapi masyarakat dan pada umumnya. Tetap bertumpu pada kebijaksanaan, yang waktu itu berarti keadilan. Bukan dalam pengertian bahwa kebijaksanaan adalah ‘tahu sama tahu’ , sebagaimana sering ditafsirkan orang. Untuk itu, Rasulullah secara tuntas melaksanakannya, termasuk kepada istrinya sendiri dalam menghadapi rumah tangganya.

Suatu ketika Rasulullah tidak dapat pulang tepat waktu seperti hari-hari biasanya setelah menunaikan shalat isya’ berjamaah di masjid nabawi. Sebab perusuh-perusuh Yahudi mulai melancarkan makar jahat, dan mereka bekerja sama dengan orang munafik.

Untuk menjaga keamanan, diadakan tugas ronda secara bergiliran. Dan hari itu Rasulullah mendapat giliran meronda secara mendadak sampai jam satu malam.

Karena biasanya Rasulullah tak pernah terlambat pulang, dengan perasaan agak cemas Siti Aisyah menunggunya di balik pintu sampai larut malam.

Mungkin terlalu penat, Aisyah terserang kantuk yang hebat. Maka, ia mengambil tikar, lalu menggelarnya persis di belakang pintu. Dengan harapan, seandainya Rasulullah pulang dan ia telah ketiduran, setidak-tidaknya akan mendengar suara ketukan pintu.

Lewat tengah malam, Rasululah tiba di rumah dalam keadaan sangat lelah sekali. Beliau segera mengetuk pintu dengan pelan seraya memangil-manggil,” Aisyah, Aisyah!”

Barangkali terlalu lelah, Aisyah terlelap dalam tidurnya, dan meskipun hanya terhalang oleh selembar daun pintu, ia tidak mendengar suara ketukan di pintu.

Rasulullah mengulang ketukannya dua kali, masih tetap dengan pelan, beliau takut mengagetkan istrinya. Dan Rasullullah menambahkannya dengan panggilan kemesraan untuk istrinya, “Ya Khumairah...., hai yang kemerah-merahan...”

Siti Aisyah tidak bangun juga, meskipun Rasulullah sudah mengetuk kembali untuk yang ketiga kalinya.

Akhirnya beliau menghentikan usahanya membangunkan Siti Aisyah. Kemudian Rasulullah mengumpulkan daun-daun kurma kering, menumpuknya di depan pintu, lalu beliau tidur di atasnya hingga pagi hari.

Demikianlah sifat Rasulullah yang menghargai hak orang lain, termasuk hak istri untuk hidup sejahtera lahir dan bathin.

Referensi:


Rahimsyah,MB. TT. Dogeng Pengantar Tidur (Kumpulan Dongeng Islam). Jakarta: Pustaka Indonesia

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.